Wah..Banyak Remaja Menikah di Usia Dini!

Sebanyak 34,5 persen dari sekitar 120.000 pernikahan di Indonesia dilakukan oleh remaja usia dini. Mayoritas dari mereka berada dalam rentang usia 12-18 tahun.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Hadi Supeno mengatakan, sekitar 40 persen dari pernikahan dini tersebut terjadi di Jawa Timur. Selain karena perintah agama, pernikahan ini juga seringkali dilatarbelakangi oleh masalah tradisi lingkungan sekitar, yaitu menikah muda.

"Karena takut dicap sebagai perawan tua, maka orangtua pun buru-buru menjodohkan dan menikahkan putrinya begitu beranjak remaja," ujarnya, dalam acara seminar di Hotel Puri Asri, Kota Magelang, Rabu (24/6) malam.

Hadi mengatakan, faktor penyebab lainnya yang kerap muncul adalah masalah ekonomi. Hal ini banyak melatarbelakangi pernikahan dini di lima kabupaten di Jawa Barat, di antaranya di Kabupaten Cirebon, Karawang, dan Indramayu. Biasanya, anak gadis dari sebuah keluarga dinikahkan dengan keluarga kaya sebagai upaya untuk membayar utang atau mendongkrak perekonomian keluarga.

Hadi mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia menikah adalah 16 tahun. Namun, dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mereka yang berada dalam rentang usia 0-18 tahun masih termasuk dalam kategori anak-anak.

"Dengan begitu, pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di tidak lebih dari 18 tahun, tetap saja disebut sebagai pernikahan dini atau pernikahan anak di bawah umur," ujarnya.

Pernikahan dini ini pada akhirnya akan menimbulkan berbagai hal buruk. Selain memicu terjadinya baby booming, dan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Emosi mereka yang belum cukup dewasa, seringkali juga menimbulkan ketidakharmonisan keluarga hingga akhirnya berakibat perceraian.

"Dengan begitu, anak-anak atau generasi yang dilahirkan dari mereka kurang berkualitas dan tidak mendapatkan cukup perhatian dari kedua orangtuanya," katanya.

Penanggung jawab Kelompok Kerja (Pokja) Pengaduan KPAI Satriyandayaningrum mengatakan, kasus perceraian akan menimbulkan konflik baru antarsuami istri tersebut yaitu masalah perebutan hak asuh anak.

"Bahkan, konflik bisa terjadi berkepanjangan karena putusan pengadilan belum tentu dipatuhi oleh kedua belah pihak," ujarnya.

Pada beberapa contoh kasus, hak asuh anak yang diputuskan dikuasakan pada si ibu, justru diabaikan karena si anak terus diasuh ayahnya, atau demikian sebaliknya। Hal ini pada akhirnya membuat kondisi kejiwaan anak semakin gamang dan depresi.

MAGELANG, KOMPAS.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ceragem

Berbisnis Counter