Kebijakan Peradilan Satu Atap

Diawali dengan Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan ketentuan pasal 24 dan TAPS MPR/X/Tahun 1998 yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman bahwa organisatoris, administratif, dan finansial peradilan ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan dan Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri. Ketentuan tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-ketentuan pokok kekuasan kehakiman pasal 11 ayat 1, secara organisatoris, administratif, dan fungsional, berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Pembinaan di bidang organisasi meliputi: pembentukan pengadilan, klasifikasi dan standarisasi pengadilan agama, penyeragaman penyebutan badan peradilan, peningkatan eselonisasi, penataan organisasi dan tatalaksana kepaniteraan. Pembinaan administrasi meliputi penyusunan pedoman kerja dan pembentukan formulir yang digunakan di pengadilan agama. Pembinaan bidang sarana peradilan agama, meliputi pembinaan kepegawaian, penyediaan gedung dan perpustakaan (Cik Hasan Bisri: 2003).

Dalam rangka mencapai tujuannya, maka diperlukan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan finansial badan peradilan. Diantaranya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun untuk Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Selanjutnya keluar Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Departemen Kehakiman ke Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman menentukan, untuk lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, peralihan sudah selesai paling lambat 31 Maret 2004. Untuk Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, peralihan harus sele-sai paling lambat 30 Juni 2004. Setelah itu, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang kekuasaan kehakiman, karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutahan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD 1945.

Menurut Amar Raksasataya, Kebijakan adalah suatu cara yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan satu atap merupakan program pemerintah dalam pembangunan hukum di Indonesia yang berbentuk peraturan dan dituangkan melalui undang-undang, adapun yang menjadi objek pelaksanaan dari kebijak-an tersebut yaitu penyatu atapan peradilan meliputi pembinaan dan pengawasan dalam hal organisasi, administrasi, dan fungsional peradilan dari masing-masing lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung.

Perubahan-perubahan tersebut diatas merupakan efek dari gejala reformasi hukum yang bertujuan untuk tercapainya supremasi dibidang hukum. Perubahan kebijakan satu atap tersebut erat kaitannya dengan politik hukum, agar terwujud-nya kemandirian lembaga penegak hukum yaitu lembaga peradilan yang berwibawa dan didukung oleh para penegak hukum yang profesional dan berintegritas tinggi dan terbentuknya peraturan perundang-undangan yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif serta mencerminkan aspirasi masayarakat dan kebutuhan pembangunan.

Menurut Jaenal Aripin, Metode dan kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian kebijakan satu atap adalah menggunakan teori trias politika dan pemisahan kekuasaan (separation of power) yang diungkapkan oleh John Locke dan Montesquieu. Sebelum reformasi dan empat kali amandemen UUD 1945, sistem kenegaraan kita memang sudah memiliki elemen-elemen dasar trias politika, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasan yudikatif, namun fungsi-fungsi idealnya tidak berjalan efektif mengingat begitu kuat dan dominannya unsur kepemimpinan eksekutif di zaman presiden Soeharto, sehingga pada masa ini sistem kenegaraan kita dikenal dengan system pembagian kekuasaan (division of power) yang tumpang tindih.

Pasca reformasi sistem pembagian kekuasaan ini (division of power) dirombak sedemikian rupa mengarah pada sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) sehingga fungsi-fungsi kelembagaan Legeslatif dan Yudikatif bisa ber-jalan mandiri, kuat dan efektif sebagaimana mestinya.

Kekuasaan kehakiman pada masa reformasi mengarah pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri dengan sistem peradilan satu atap. Sebelumnya empat lingkungan peradilan secara teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung namun secara organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah departemen yang berbeda, Departemen Kehakiman untuk peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, Departemen Pertahanan dan Mabes TNI untuk peradilan militer dan Departemen Agama bagi peradilan agama.

Sistem peradilan satu atap menghendaki semua lembaga peradilan baik secara teknis yudisial maupun organisasi finansial berada di bawah pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yaitu Mahkamah Agung. Proses peralihan kekuasaan ini meskipun berat tetap berjalan dengan lancar, kecuali peradilan agama yang proses peralihannya sedikit mengalami perdebatan panjang, Departemen Agama dan MUI pada awalnya tidak mau melepaskan peradilan agama karena muatan-muatan historisnya yang panjang dan sangat melekat dengan umat Islam, mereka menghawatirkan ciri-ciri khas peradilan Islam ini akan memudar dan akhirnya hilang, namun anehnya, mayoritas aparatur peradilan agama sendiri sebagaimana diwakili para ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia menghendaki penyatu atapan dilakukan dengan segera, alasan yang mendasarinya adalah masalah finansial yang terkait dengan pengelolaan peradilan agama itu sendiri yang dianggap sangat tidak memadai untuk sebuah sistem peradilan yang modern dan mandiri selama dibawah Departemen Agama. Permasalahan ini tidak bisa ditujukan pada kurangnya perhatian Departemen Agama terhadap peradilan agama, hal ini lebih disebabkan pos anggaran yang sangat terbatas pada masa-masa sebelumnya.

Teori selanjutnya adalah tentang Demokrasi dan negara hukum. Bila merujuk pada teori ini apa yang terjadi dengan peradilan agama tersebut diatas menurut Jaenal Aripin sudah sesuai, terutama bila dilihat dari satatus dan kedudukannya. Pemisahan kekuasaan negara merupakan syarat mutlak bagi tegaknya demokrasi dan terciptanya supremasi hukum dalam sebuah negara hukum. Karena itu status dan kedudukan peradilan agama ketika sudah berada dibawah struktur kekuasaan kehakiman, merupakan wujud nyata dan tuntutan yang harus ada dari negara demokrasi dalam rangka menciptakan supremasi hukum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ceragem

Berbisnis Counter