Legislasi Anti Korupsi; Janji Politisi Yang Tak Terealisasi

Hingga kini DPR miskin prestasi di bidang anti korupsi, selain perilaku korupsi itu sendiri. Di DPR, anti korupsi hanya wacana dan janji yang tak terbukti.

Untuk mengevaluasi kinerja legislasi DPR di bidang anti korupsi salah satu ukuran yang bisa digunakan adalah perencanaan legislasi dan produk legislasi itu sendiri. Perencanaan dapat dilihat melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas merupakan sebuah dokumen yang berisikan perencanaan di bidang perundang-undangan. Dalam prolegnas tercantum judul atau nama sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang akan diselesaikan oleh DPR selama satu periode jabatan. Selanjutnya, perencanaan legislasi yang dilakukan untuk satu periode jabatan tersebut dikerucutkan menjadi prioritas tahunan. Prioritas tahunan ini adalah RUU yang akan diselesaikan oleh DPR selama satu tahun. Sementara itu, ukuran yang kedua adalah produk legislasi atau UU yang dihasilkan.

Prolegnas dan RUU di Bidang Anti Korupsi

Pada awal perencanaan kerja legislasinya, DPR berencana untuk menyelesaikan sebanyak 284 (dua ratus delapan puluh empat) Rancangan Undang-Undang (RUU). Jumlah ini tertuang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ditetapkan pada tahun 2005 dan seharusnya diselesaikan dalam periode 2005 sampai dengan 2009. Dari jumlah tersebut terdapat tiga RUU yang bersinggungan langsung dengan pemberantasan korupsi, yaitu:

1. RUU tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003 (United Convention Against Corruption, 2003);

2. RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

3. RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selanjutnya dari tiga RUU tersebut, satu RUU diturunkan menjadi Prolegnas Tahun 2005 yaitu RUU tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003 (United Convention Against Corruption, 2003. Artinya RUU tersebut masuk dalam prioritas tahun 2005 dan akan disahkan oleh DPR pada tahun tersebut. Sementara, dua RUU lainnya masuk dalam daftar prioritas tahun 2006 – 2009.

Walaupun masuk dalam prioritas tahun 2005, DPR baru mengesahkan RUU tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi pada 20 Maret 2006. Sementara itu, RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang sudah masuk dalam Prolegnas 2005-2009 masuk dalam prioritas tahun 2009. Sedangkan, RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK) masuk dalam prioritas tahun 2008.

Pada prioritas legislasi tahun 2008 muncul RUU di luar daftar judul RUU yang sudah direncanakan dalam Prolegnas 2005 – 2009 yaitu RUU tentang Pengadilan Korupsi. RUU ini masuk dalam prioritas tahunan sebagai upaya tindak lanjut atas putusan MK yang memerintahkan legislator yakni DPR dan pemerintah untuk menyusun RUU Pengadilan Korupsi. Untuk pekerjaan ini MK memberikan jangka waktu selama tiga tahun sejak dikeluarkan putusan ini yaitu sejak tahun 2006.

Sehingga sampai dengan awal 2009, terdapat empat RUU berkaitan langsung dengan anti korupsi yang masuk dalam prioritas legislasi DPR dan dari jumlah tersebut sampai dengan saat ini DPR masih menyimpan utang dan beban produk legislasi sebanyak 3 (tiga) RUU. Selanjutnya, dari tiga RUU tersebut, hanya ada satu RUU yang sudah masuk dalam pembahasan di DPR yaitu RUU Pengadilan Korupsi. Sementara nasib dua RUU lainnya tak jelas. RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih dalam tahap persiapan di pemerintah dan RUU KPK hingga kini tidak tampak nasibnya baik di pemerintah maupun di DPR. Data yang tercantum dalam lampiran Prolegnas Tahun 2008 untuk RUU KPK statusnya adalah draft dan naskah akademik telah disiapkan oleh pemerintah.

Tabel 1

Realisasi RUU di Bidang Anti Korupsi

RUU Bidang Anti Korupsi

Prioritas Tahun

Realisasi

Status

RUU tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003

2005

Disetujui pada 2006

Disahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006

RUU KPK

2008

-

-

RUU tentang Pengadilan Korupsi

2008

-

Pembahasan di tingkat Pansus

RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2009

-

Persiapan di tingkat Pemerintah

Mungkinkah Terealisasi

Di sisa masa jabatan DPR yang tinggal menghitung hari ini, pertanyaannya adalah mampukah DPR merealisasikan janjinya di bidang anti korupsi? Berdasarkan evaluasi kinerja legislasi DPR yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, dari sisi kuantitas saja DPR tak pernah mampu memenuhi target jumlah RUU yang sudah ditetapkan dalam prolegnas tahunannya. Karena memang penyusunan Prolegnas ini juga mempunyai permasalahan tersendiri baik dari segi penentuan jumlah maupun penentuan RUU. Dari segi penyediaan waktu dan pengaturan jadwal siding untuk fungsi legislasi, DPR sejak beberapa tahun ini mengambil kebijakan 60:40. Fungsi legislasi mendapatkan prosentase waktu sebesar 60%, sementara 40% untuk pelaksanaan fungsi pengawasan dan anggaran.

Tabel 2

Jumlah undang-undang yang dihasilkan setiap tahunnya (2005-2008)

Tahun

Program Legislasi Tahunan

Capaian Tahunan

2005

55 RUU

14 UU

2006

43 RUU baru

33 RUU luncuran 2005

Total = 76 RUU

49 UU

2007

30 RUU baru

48 RUU luncuran 2006

Total = 78 RUU

40 UU

2008

31 RUU baru

50 RUU luncuran 2007

Total = 81 RUU

62 UU

Sumber: Buku "Mengais Harapan Di Ujung Pengabdian, Catatan PSHK atas Kinerja Legislasi DPR Tahun 2008", disusun dan diterbitkan oleh PSHK Tahun 2009.

Apabila kita melihat "rekam jejak" DPR dalam pencapaian target legislasinya yang selalu meleset, maka sulit bagi kita untuk mengharapkan DPR mampu memenuhi semua utang dan beban legislas di bidang anti korupsi. Apalagi apabila kita juga memperhitungkan status dua RUU yang hingga kini masih dalam tahap persiapan oleh pemerintah. Selain itu, sisa waktu dan agenda pemilu legislatif dan pemilu presiden ini juga menjadi masalah bagi DPR untuk bisa memenuhi janji legislasinya. Artinya banyak sekali hambatan secara teknis, selain hambatan politis tentunya, bagi DPR untuk pekerjaan legislasi di bidang anti korupsi ini.

Pada akhirnya, DPR harus "memeras" jumlah RUU bidang anti korupsi ini. DPR harus fokus pada penyelesaian satu RUU yang mendesak dan sudah lebih siap pembahasanya dibandingkan RUU lainnya. Sebenarnya dalam penyusunan prioritas tahun 2009 juga menyisakan pertanyaan. Bagaimana bisa DPR memasukkan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di tahun 2009 sementara RUU lainnya masih terbengkalai. Ini menandakan bahwa penentuan RUU untuk masuk dalam Prolegnas atau prioritas tahunan tanpa melalui kajian yang mendalam. Sehingga tampak bahwa penentuannya hanya sekedar "main-main" dan mungkin hanya untuk memuaskan masyarakat.

Segera Selesaikan RUU Pengadilan Korupsi

Untuk sedikit memberi prestasi dalam hal anti korupsi, DPR harus mampu mengambil langkah berani untuk segera menyelesaikan RUU Pengadilan Korupsi. RUU ini sangat penting, karena akan menentukan keberadaan pengadilan korupsi yang menjadi urat nadi dalam pemberantasan korupsi.

RUU Pengadilan Korupsi telah berada di DPR sejak 11 Agustus 2008. Namun, hingga mendekati kuartal pertama tahun 2009 ini harapan masyarakat atas selesainya RUU ini masih kabur. DPR terlihat enggan untuk mensegerakan penyelesaian RUU ini. Ada beberapa faktor yang bisa mungkin menjelaskan lambannya pembahasan RUU ini, yaitu adanya agenda Pemilu yang membuat anggota DPR sibuk berkampanye ketimbang bekerja sesuai dengan tugasnya, beban keterlibatan anggota DPR dalam pembahasan undang-undang yang sangat banyak, adanya alasan keterlambatan pemerintah dalam menyerahkan RUU ini kepada DPR, dan yang paling penting adalah kemauan politik (political will) DPR dalam menyelesaikan RUU ini. Faktor yang terakhir yaitu political will merupakan faktor yang penting dan sangat menentukan. Faktor lainnya adalah faktor teknis yang sebenarnya bisa diatasi dengan manajemen forum yang lebih baik.

Keberhasilan penyelesaian masalah yang berasal dari faktor teknis sangat tergantung pada kemampuan pimpinan dalam hal ini adalah pimpinan Pansus untuk mengelola forum agar bisa berjalan secara baik dan cepat. Pilihan DPR yang menunjuk Pansus untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor ketimbang Komisi adalah pilihan yang tepat. Karena dari sisi manajemen waktu dan penjadwalan sidang, Pansus tidak akan terganggu dengan jadwal komisi. Harapannya Pansus bisa bekerja cepat. Namun dalam perjalanan Pansus sampai dengan saat ini, harapan itu tak terbukti. Kerja Pansus tidak memuaskan. Sebenarnya faktor pimpinan mempunyai peran sentral dalam hal ini. Pimpinan harus bisa mengelola waktu atau mengatur jadwal sidang dan mendorong anggota Pansus, walapun lintas fraksi dan lintas komisi, untuk mau secara rutin memenuhi jadwal sidang yang telah disusun. Oleh karena itu, diperlukan sosok yang berpengalaman dan mempunyai jaringan luas dan "daya ikat kuat" terhadap anggota DPR yang menjadi anggota Pansus. Makanya, menjadi pertanyaan besar ketika ketua Pansus Pengadilan Korupsi ini tidak diisi oleh politisi berpengalaman. Apakah memang ada upaya menghindar dari anggota DPR lainnya dari Fraksi Partai Golkar (F PG), karena yang berhak menjadi ketua berasal dari F PG, untuk menjadi ketua Pansus? Atau apakah ada skenario untuk menghambat dan bahkan menggagalkan pembahasan RUU ini di DPR?

Faktor lainnya adalah Political will DPR. Faktor ini yang nampaknya tidak ada di antara anggota Pansus bahkan anggota DPR secara keseluruhan untuk mendorong segera selesainya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Walaupun kelihatannya merupakan faktor yang klise, namun ini menjadi faktor penentu. Melihat banyaknya "politisi senayan" yang diseret ke Pengadilan Tipikor, menguatkan dugaan atas penyebab lemahnya kemauan politik ini. Masuknya KPK ke Senayan merupakan sebuah langkah berani untuk mematahkan pendapat bahwa pemberantasan korupsi tak mampu menyentuh elit politik. Dan terbukti, banyak anggota DPR yang tertangkap dan terbukti juga "jualan" anggota DPR sangat laris di semua fungsi yang dimiliki yaitu legislasi, pengawasan dan anggaran. Semua bisa diperdagangkan.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa memperkuat atau membangun kembali Pengadilan Tipikor melalui Undang-undang tidak akan memberikan insentif riil bagi anggota DPR. Bahkan bisa jadi akan menjadi "senjata makan tuan", seperti KPK yang juga dibentuk dengan undang-undang hasil kerja anggota DPR. Kekhawatiran ini memperlemah semangat politik mereka untuk segara membahas dan menyelesaikan RUU ini tepat waktu. Tanpa ada kemauan politik kuat, mustahil RUU ini bisa diselesaikan dan mustahil hasil RUU ini akan baik.

Bagaimanapun juga, DPR harus berupaya agar RUU ini selesai. Langkah yang diperlukan adalah mengatur penjadwalan yang baik dan transparan. Karena sempitnya waktu yang tersisa, Pansus harus mau menggunakan masa resesnya untuk membahas RUU ini. Presedennya sudah pernah terjadi, ketika membahas RUU Pemerintahan Aceh. Ketika itu pimpinan Pansus dengan persetujuan Bamus menggunakan masa resesnya untuk melakukan rapat membahas RUU Pemerintahan Aceh. Selain itu, kontrol Pimpinan dan Bamus terhadap kerja Pansus dan pimpinan Pansus harus lebih diperkuat. Mekanisme pengawasan kerja Pansus juga harus diperbaiki. Hal ini perlu dilakukan mengingat track record Pansus yang selama ini sangat mengecewakan. Terkait Political Will, memang sulit dipengaruhi karena ini bersumber dari dalam fraksi, DPR dan anggotanya sendiri. Namun perlu dilakukan upaya dorongan dari luar untuk mendorong munculnya kemauan politik dari DPR ini.

Peran Besar yang Sia-sia

Hingga kini, DPR sangat miskin dengan prestasi di bidang anti korupsi. RUU yang sudah direncanakan pun tidak mampu terselesaikan. Anti korupsi hanya menjadi wacana dan jualan politisi DPR yang nyatanya tidak pernah terbukti. Di sisi lain, DPR mempunyai peran yang sangat besar dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Terutama melalui fungsi legislasinya. Namun, kita perlu mencermati dan mengawasi karena pengaruh ini bisa berwujud positif maupun negative.

Oleh:M Nur Sholikin (dikutip dari: www.parlemen.net)

Komentar

Posting Komentar

tinggalkan komentar anda disini!!

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Peradilan Satu Atap

Ceragem