POLITIK ISLAM

Langkah awal memahami sejauh mana urgensi pembahasan politik Islam adalah dengan membuka kembali lembaran sejarah politik negara kita dan negara-negara muslim lainnya. Sebagaimana maklum, sepanjang sejarah manusia, sebagian dari rezim diktator, kaum arogan, dan pemburu-pemburu kekuasaan merupakan sumber segala finah dan propaganda di dunia ini, yang kemudian melahirkan penderitaan, kelaparan, dan kemiskinan di berbagai negara. Kekejaman dan penindasan ini terus merajalela di dunia modern dengan kemasan demokrasi dan pemberantasan terorisme dan ironisnya, lembaga hak asasi manusia dan lembaga-lembaga internasional lainnya hanya diam dan tidak memberikan reaksi sama sekali terhadap peristiwa-peristiwa tersebut.

Pasca runtuhnya kekuatan gereja di Eropa, tidak pernah terbersit lagi dalam pikiran orang bahwa agama akan memainkan peran kembali dalam percaturan politik dunia, hingga munculnya gerakan revolusi Islam di Iran dan Timur Tengah pada abad 13 H yang dikawal ulama besar Imam Khomeini Ra. Awalnya mereka memprediksi bahwa model gerakan Revolusi Islam Iran sama saja dengan gerakan parsial yang muncul di negara-negara Islam lainnya. Tapi prediksi itu sirna sejalan dengan keberhasilan revolusi Islam Iran, kendatipun revolusi ini tidak didukung dan bersandar pada dua kekuatan dunia, yakni sosialime dan kapitalisme. Bahkan revolusi Islam Iran lahir dengan warna dan corak berbeda dengan semua revolusi yang pernah terjadi. Negara-negara arogan tidak pernah rela dan membiarkan begitu saja kemenagan revolusi Islam Iran, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk meruntuhkan pondasi sistem pemerintahan Islam Iran yang berasaskan agama dalam bingkai Wilayatul Faqih.

Dalam mewujudkan ambisinya, mereka telah melakukan berbagai tekanan baik internal maupun ekternal. Beberapa tekanan esternal musuh terhadap Iran adalah embargo ekonomi dan menciptakan perang saudara antara Iran dan Irak selama 8 tahun. Tetapi semua bentuk tekanan-tekanan eksternal tersebut tidak mampu mematikan spririt masyarakat Iran untuk terus mengayomi dan mempertahankan revolusi dan sistem pemerintahan Wilayatul Faqih. Di samping itu, secara internal mereka berusaha meracuni masyarakat Iran melalui jalur budaya dengan idiom-idiom kebebasan, mereka meyerbu iran dengan berbagai budaya yang tidak lagi mengenal batas-batas normatif agama, tapi semua itu, tidak mampu memudarkan dan mengubah keyakinan dan akidah masyarakat iran.

Musuh-musuh Islam tidak pernah putus asa untuk menekan pemerintahan Islam Iran yang dari hari ke hari menjelma menjadi kekuatan baru di dunia Internasional dan Timur Tengah khususnya. Untuk itu, agenda selanjutnya, mereka mendesain sebuah gerakan budaya, dan sasaran utama adalah pemuda yang nantinya akan memegang serta melanjutkan tonggak pemerintahan ke depan. Dalam analisis mereka, sebagian besar pemuda sekarang, tidak punya andil dalam kemenangan revolusi sehingga tidak memiliki kedekatan emosional terhadap nilai dan spirit revolusi. Bentuk riil kegiatan mereka adalah membentuk lembaga-lembaga budaya dan lembaga-lembaga pendidikan.

Dengan program ini, lahirlah kader-kader intelektual muda yang kemudian mempunyai posisi penting di tengah masyarakat. Kaum intelektual inilah yang akan memainkan peran dalam meracuni dan merusak pemikiran serta keyakinan masyarakat, hingga dengan sendirinya masyarakat tidak lagi alergi dengan wacana-wacana demokrasi (barat) dan liberalisme. Ada tiga agenda besar yang dikawal dalam menghancurkan konsep pemerintahan Islam yang berbentuk Wilayatul Faqih di Iran:

1. Meyebarkan Paham Sekularisme

Propaganda awal mereka adalah menyebarkan dan menanamkan paham sekularisme di tengah masyarakat melalui lembaga media, makalah dan buku-buku. Sebelumnya, paham ini telah tumbuh dan eksis di Turki, Maroko, dan negara-negara Eropa. Sebenarnya konsep pemisahan politik dan agama pernah menjadi wacana dalam sistem pemerintahan Iran; salah seorang yang memilki andil dalam kemenangan revolusi dan kemudian memiliki jabatan strategis memilki sikap politik seperti di atas. Melalui ceramah, makalah, dan buku ia mendakwahkan konsep tersebut. Untuk melegitimasi konsep tersebut ia menjadikan Negara maroko sebagai contoh riil negara yang berhasil menerapkan konsep sekularisme.

Kenyataannya konsep di atas tidak mampu mempengaruhi pikiran dan keyakinan masyarakat, khususnya pelaku-pelaku revolusi yang memiliki jiwa besar dan tumbuh dalam berbagai kesulitan dan telah menyumbangkan harta, jiwa, dan raganya demi berdirinya pemerintahan Islam dalam bentuk wilayatul faqih ini. Dan yang terpenting, sampai detik ini suara pernyataan malakuti imam Khomeni Ra masih terdengar jelas di telinga masyarakat, yakni agama adalah pondasi politik.

2. Menolak Konsep Wilayatul Faqih

Agenda kedua gerakan mereka sedikit mengikuti ritme keyakinan dan akidah kita dalam bentuk meyamakan perspektif, yakni agama diberikan ruang dalam ranah politik dan sistem pemerintahan. Para pelaku politik harus menjungjung tinggi norma agama dalam menjalankan tanggung jawabnya. Tapi, tidak bermakna bahwa sistem pemerintahan agama harus berbentuk wilayatul faqih. Sistem pemerintahan boleh saja dikawal dan dijalankan orang yang tidak memilki dedikasi kefaqihan. Cukuplah hukum-hukum dan kebijakan Negara disaring dan disesuaikan dengan agama, takkala undang-undang tidak kontradiksi dengan agama maka itulah undang-undang sistem pemerintahan agama, karena semua undang-undang dan kebijakan telah terlegitimasi atas nama agama.

Ketika mereka gagal memaksa masyarakat untuk menerima sekularisme, mereka sepakat bahwa sistem pemerintahan agama boleh saja diterapakan tapi dengan syarat pemimpin tidak harus faqih, dan masalah kepemimpinan diserahkan secara totalitas kepada masyarakat. Masyarakatlah yang menentukan dan memilih personifikasi ideal untuk menjadi pemimpin. Untuk memaksimalkan agenda ini, mereka telah mengadakan berbagai seminar ilmiah dan menulis buku-buku yang berkaitan dengan tema di atas.

Pemikiran ini bisa sangat berbahaya bagi masyarakat, khususnya pemuda yang dangkal pengetahuannya akan hukum-hukum agama dan belum akrab dengan sumber-sumber fikih yang menjadi landasan konsep wilayatul faqih. Tapi sebuah kesyukuran, semakin besar propaganda musuh Islam terhadap konsep wilayatul faqih, wilayatul faqih tetap eksis dan makin kuat pondasinya di jantung masyarakat.

3. Pembaharuan Konsep Wilayatul Faqih

Setelah dua konsep di atas gagal untuk mengubah komitmen dan akidah masyarakat terhadap konsep wilayatul faqih maka agenda ketiga mereka adalah mewacanakan bahwa konsep wilayatul faqih bukanlah hukum mutlak, bukanlah hukum yang bebas dari kesalahan dan kekurangan. Untuk keeksisannya dengan akselerasi perkembangan zaman butuh revisi dan intrepetasi baru. Dalam artian, sebab konsep wilayatul faqih bertentangan dengan pondasi demokrasi dan liberalisme maka ia harus diharmoniskan dan disesuaikan dengan konsep tersebut.

Kesimpulannya, ketiga program di atas terus disuarakan dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman, hingga ke depannya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang konsep wilayatul faqih akan ditinggalkan masyarakat. Oleh karena itu, jika langkah-langkah antisipasi tidak diagendakan secara rapi dan sistimatis dan khususnya jika spirit revolusi dan semangat keilmuan tidak ditanamkan dalam jiwa-jiwa kaum muda maka tidak tertutup kemungkinan mereka akan tercemari dari salah satu agenda musuh di atas, dimanapun mereka berada, dilapisan masyarakat manapun ia beraktifitas serta apapun status sosialnya di tengah masyarakat. Dengan begitu mereka bisa menjadi budak dan akan memberikan andil pada Negara-negara arogan untuk menwujudkan libido hegemoni dan imprealisnya diberbagai belahan negara, khususnya dunia Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebijakan Peradilan Satu Atap

Ceragem